Minggu, 29 September 2019

Menyoal RUU P-KS


Oleh: Putriana


Diawali oleh relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, juga antara orang dewasa dan anak-anak, yang menempatkan keduanya di posisi lebih rendah dari laki-laki dan orang dewasa, menjadikan kaum perempuan dan anak-anak rentan terkena akan kekerasan atau kejahatan, apalagi keduanya tergolong lemah dan dominan tinggal di ruang domestik (rumah tangga), area yang sempit, sepi dan kurang dari perhatian hingga keadilan, bahkan ruang ini dianggap sebagai ruang privat, yang tidak perlu untuk di atur oleh negara, sehingga kekerasan dan kejahatan semakin merajalela.


Pembedaan gender yang diterapkan kepada laki-laki dan perempuan, berupa maskulinitas dan feminitas sebagai hasil dari rekayasa sosial, menghasilkan budaya yang menuntut perempuan untuk selalu tampil bermoral. Aturan bahwa maskulinitas sebagai khasnya laki-laki, memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk menunjukkan diri sebagai pribadi yang gagah, kuat, mampu memimpin hingga mengambil keputusan dan sebagainya dan feminitas sebagai khasnya perempuan, menuntut perempuan untuk menampilkan sesosok pribadi yang anggun, lemah, penurut hingga menerima segala keputusan terhadap dirinya, termasuk juga tuntutan untuk selalu tampil sebagai pribadi yang sopan santun dan seterusnya.

Hal tersebutlah yang kemudian akan perbaikan moral hanya dilekatkan kepada perempuan. Segala aturan meminta dan mengharuskan perempuan untuk selalu tampil beradab, mulai dari aturan perilaku sopan santun yang lebih diterapkan kepada perempuan, kemudian mendidik anak di rumah yang hanya dibebankan kepada perempuan, untuk kemudian bertanggung jawab atas lahirnya generasi bangsa yang beradab dan berpengetahuan, hingga aturan pakaian yang hanya ditujukan kepada perempuan, agar tidak menerima kekerasan dari laki-laki yang kadangkala menyerang kaum perempuan. Dalam kasus kekerasan terhadap kaum perempuan, seringkali perempuan yang dipersalahkan karena hal ini, adakalanya oleh karena model pakaian, bentuk lekukan badan hingga tuduhan sebagai sosok yang menggoda duluan. Padahal perempuan telah menjadi korban, namun kemudian justru perempuan pula yang dipersalahkan. 

Rahim, vagina dan payudara adalah bagian diri perempuan yang selalu menjadi sasaran aniaya. Padahal, rahim adalah rumah pertama bagi manusia, termasuk kaum pria, vagina bagian dari proses untuk lahir ke dunia dan payudara adalah sumber air susu pertama untuk kehidupan selanjutnya, mengapa justru ketiganya dijadikan objek untuk menganiaya. Bahkan kekerasan terhadap perempuan, penganiayaan terhadap tubuh dan martabat kemanusiaan perempuan terus menjadi-jadi, dari hari demi hari, akan tetapi aturan perlindungan bagi perempuan selalu terhambat, hanya berjalan di tempat. 

Atas fenomena itulah kemudian muncul Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Guna menimbulkan ketakutan dalam diri laki-laki (utamanya) untuk menjadi pelaku kekerasan seksual, selain pula untuk perlindungan hingga pemulihan terhadap korban yang selama ini bahkan justru sulit dalam mencari keadilan karena kekosongan aturan atau Undang-undang. Ditambah lagi akan ketakutan perempuan untuk memberikan laporan, takut akan balasan dari pelaku, terbongkarnya identitas diri, sekaligus maraknya pungli, adalah deretan keadaan yang menyulitkan kaum perempuan untuk melaporkan sebuah kebenaran. 

Bahwa RUU  P-KS ini bertujuan untuk mencegah hingga memidana pelaku kekerasan seksual, penanganan terhadap korban, sehingga akan terjamin kebebasan lingkungan dari kekerasan seksual, dalam arti jika RUU P-KS ini telah diundang-undangkan. Dengan lain kata, kekerasan seksual yang kerapkali terjadi tidak akan lagi berakhir dengan jalur non-hukum atau bahkan dengan solusi mengawinkan pelaku dengan korban, yang kemungkinan besar tidak saling menginginkan. 

Selain itu, keunikan RUU P-KS ini, ialah meluaskan definisi pasal perkosaan, sehingga beragamnya pelecehan terhadap perempuan dapat tergambarkan dan menjadi tidak terabaikan (lihat Pasal 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual). 

Anehnya, RUU P-KS ini ditafsir sebagai RUU yang akan menghalalkan zina dan free sex, padahal RUU ini hanya menyinggung soal kekerasan atau kejahatan seksual, sehingga zina dan free sex karena tidak masuk dalam ruang “kekerasan”, maka ia tidak masuk dalam ruang RUU P-KS ini. Dalam naskahnya pun tidak ada sama sekali bunyi tentang diperbolehkannya zina, free seks atau bahkan LGBT yang selama ini dituduhkan. Anggapan akan terlalu feminis dan Barat juga menjadi tuduhan terhadap RUU ini.
 

Kamis, 07 Maret 2019

Nilai-nilai Maskulin dan Feminim dalam Feminisme



Oleh: Putriana

Advokasi atas hak-hak perempuan atau yang dikenal dengan feminisme, dalam sebuah gerakan muncul di Inggris pada abad 18. Perempuan yang tak diberikan hak pilih hingga batasan untuk akses ke dunia pendidikan adalah beberapa deretan sebab dari munculnya gerakan ini, yang berjalan masif hingga sekarang dengan berbagai variasi gerakan, dengan berbagai macam aliran hingga muncul Hari Perempuan Internasional yang dirayakan setiap tanggal 8 Maret, yakni perayaan tahunan atas ketetapan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1977 untuk perjuangan hak-hak perempuan dan untuk mencapai dunia yang penuh kedamaian.

Dalam tulisan kali ini, dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional di tahun 2019, saya ingin membincangkan tentang arah gerakan kesetaraan gender dalam melihat nilai-nilai maskulin dan nilai-nilai feminim, guna mencapai keadilan bagi laki-laki dan perempuan dari awal kemunculannya hingga sekarang. Setidaknya tulisan ini adalah atas bacaan panjang saya terhadap buku-buku yang bertemakan feminisme, yang saya sangkakan kurang difahami oleh para perempuan yang merasa sedang berada dalam perjuangan kesetaraan.

Feminisme identik dengan gender, sebab gender adalah kandungan perjuangan yang ingin disetarakan dalam sebuah gerakan feminisme. Gender didefinisikan sebagai peran, sifat, kedudukan dan sebagainya (atribut) yang dilekatkan kepada laki-laki dan perempuan. Dalam aplikasinya, terdapat gender maskulin dan gender feminim. Peran sebagai pemimpin dan sifat pemberani adalah perilaku gender beraroma maskulin yang seringkali dilekatkan kepada kaum laki-laki. Sementara peran sebagai pengasuh dan sifat lemah lembut adalah gender berbau feminim yang disematkan kepada para perempuan. 

Gender sebagai perilaku yang bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, adalah berbeda dengan jenis kelamin yang sudah terkodratkan. Seperti laki-laki yang dikodratkan sebagai penghasil sperma (produksi) dan perempuan yang sudah dikodratkan untuk menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui (reproduksi). Maka gerakan kesetaraan gender bermaksud untuk menyetarakan peran, sifat, kedudukan, perilaku dan sebangsanya atas laki-laki dan perempuan diluar kodrat biologisnya sebagai dua insan yang dikodratkan untuk melahirkan generasi lanjutan.

Gender menjadi sebuah sumber ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang lebih banyak dialami oleh perempuan daripada laki-laki, sebab dalam perjalanan peradaban, manusia lebih menjunjung tinggi nilai-nilai maskulin (kekuasaan, power, status dan materi) dari pada nilai-nilai feminim (pemeliharaan, pengasuhan, kelembutan dan kasih sayang). 

Salah satu contoh penghargaan yang lebih menghargai nilai-nilai maskulin ialah seperti dalam sebuah keluarga, peran ayah sebagai pencari nafkah yang outputnya adalah materi lebih dijunjung tinggi, daripada peran sang ibu sebagai perawat dan pengasuh yang sesungguhnya sama-sama mengeluarkan energi. Lima bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan terhadap perempuan lainnya yang sering disebutkan oleh para feminis ialah penomorduaan perempuan, pelabelan negatif, peminggiran, beban ganda hingga kekerasan terhadap kaum Hawa atas aplikasi perilaku maskulin oleh kaum Adam yang sangat berlebihan, atas rasa bahwa laki-laki berhak mendominasi dan berkuasa.

Sehingga sejak awal gerakan feminisme dilakukan dengan upaya mengeluarkan perempuan dari peran-peran feminim menuju peran-peran yang maskulin dan menjadi pesaingnya laki-laki. Perempuan diserukan untuk bisa berkiprah di area publik, menjadi pekerja, pemimpin, penghasil materi, intinya bermigrasi ke dunianya laki-laki yang selama ini lebih dihargai.

Apalagi kebijakan-kebijakan yang ada selama ini hanya melindungi manusia yang ada di dunia publik, dunia yang didominasi oleh laki-laki, tidak dengan dunia privat atau domestik, dunia yang lekat dengan perempuan. Tak heran, jika banyaknya terjadi pelecehan terhadap perempuan menjadi terbiarkan dan terabaikan. Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) adalah salah satu perjuangan di parlemen untuk melindungi perempuan atas posisi perempuan yang selama ini tak terlindungi. 

Maka, peran gender yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak masalah, selama peran yang diberikan kepada perempuan tidak dianggap sebagai peran yang rendahan dan terdapat kebijakan perlindungan. Dengan ini, perkembangan perjalanan feminisme selanjutnya yang diwakili oleh aliran ekofeminisme bergerak tidak dengan memaksa perempuan untuk hijrah ke dunia maskulin, namun berjuang menyetarakan laki-laki dan perempuan dengan gerakan penghargaan terhadap perilaku feminim. Ingin kembali pada inti dari sebuah arti kata “feminisme” yang berasal dari kata, femina, yang artinya adalah perempuan (bahasa Latin). Ingin kembali menghargai perilaku pemeliharaan, pengasuhan, kelembutan dan kasih sayang terhadap alam. Sebab, perempuan yang identik dengan feminitas adalah yang lebih dekat dengan alam. Sebab pula, pencemaran lingkungan dan sumber daya alam sudah semakin rusak oleh dominasi maskulin dibalik kapitalisme dan budaya patriarki yang semuanya dijalankan oleh laki-laki.

Perempuan yang lekat dengan feminim, identik dengan alam, sementara perilaku maskulin yang disandang oleh laki-laki identik dengan materi. Sayangnya, alam pun dimaterikan oleh laki-laki, dirusak dengan dikuras habis untuk menguntungkannya secara ekonomi. Eksploitasi tanpa henti atas isi bumi dalam memenuhi budaya konsumtifnya manusia saat ini adalah kenyataan yang hakiki. Dampak dari kerusakan alam ini pada akhirnya kembali lagi pada kaum perempuan, karena banyak perempuan di pedesaan yang mengandalkan hidup dari alam. 

Maka dari sini, atas dominasi maskulinnya laki-laki, para feminis dalam ekofeminisme ingin mengimbangi dengan menghargai dan menaikkan nilai-nilai feminimnya perempuan untuk tercapainya kesetaraan dan keadilan. Agar bumi kembali pulih, agar relasi gender laki-laki dan perempuan tercipta seimbang. 

Bahkan, Sachiko Murata, penulis buku The Tao Of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam (terjemahan dalam bahasa Indonesia) membagi sifat-sifat Tuhan yang masuk kedalam kualitas maskulin dan feminim. Maha Besar, Maha Tinggi, Maha Pencipta, Maha Pembalas, Maha Kuasa dan sebagainya adalah sifat-sifat maskulinnya Tuhan. Sementara, yang masuk ke dalam sifat-sifat feminimnya Tuhan ialah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, Maha Pemberi, Maha Lembut dan sebagainya, yang menurut Murata, seperti pula yang dikatakan oleh Ratna Megawangi, bahwa penghargaan besar terhadap nilai-nilai maskulin juga teraplikasi pada agama Islam dan agama samawi lainnya, yakni manusia cenderung melihat sifat-sifat maskulinnya Tuhan dengan tak diimbangi oleh sifat-sifat feminim-Nya, sehingga aplikasinya lebih kepada hukum atau syari’at, tidak dengan hakikat atau ma’rifat. Akhirnya, yang tercipta ialah masyarakat yang keras yang terlalu condong pada kekuasaan dan hukum, di samping ada juga masyarakat yang lebih dekat dengan sifat-sifat feminimnya Tuhan, Tuhan sebagai yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, masyarakat seperti ini akan penuh toleransi dan mementingkan keharmonisan sosial.

Jumat, 31 Agustus 2018

Keterjajahan Perempuan oleh Standar Kecantikan




Oleh: Putriana

Laki-laki memang identik dengan ketampanan dan perempuan juga identik dengan kecantikan, namun standar ‘cantik’ lebih ribet bin rumit dalam pengaplikasiannya terhadap perempuan. Terpotret dari berbagai variasi produk-produk kosmetika (lipstick, maskara, bedak, eyeliner, eyeshadow, dkk) yang menuntut perempuan untuk membeli dan memakainya.
Produsen produk-produk kosmetika sebagai aktor dibalik pembuat standar ideal “perempuan cantik” adalah pihak yang sangat diuntungkan dan memang mereka mencari banyak uang dari lahan ini. Konsep cantik yang ideal terus mereka update, guna membuat produk-produk baru, untuk kemudian diserbu oleh perempuan yang pikirannya hanya terkonsentrasikan dengan kecantikan.
Perempuan bahkan juga diperalat untuk menjadi perwakilan para produsen dalam menyampaikan standar cantik yang mereka buat dalam berbagai media seperti iklan dalam televisi, koran, majalah hingga di media sosial seperti Instagram dan sejenisnya. Pengaruh media sangat besar dalam membentuk pikiran perempuan bahwa cantik adalah kesempurnaan, dan tentu saja tubuhnya semakin terkomoditaskan dengan dijadikannya sebagai bahan atau alat dalam bermacam-macam iklan (Iklan produk kecantikan bahkan mendominasi hingga menggeser produk-produk non-kecantikan).
Hal ini berdampak pada konsentrasi perempuan akan cantik hanya pada fisik bukan cantik dari dalam diri. Cantik secara fisik menjadi terstandarkan bahkan telah sangat mapan. Padahal standar cantik yang ingin mereka gapai dengan cara yang dipaksakan itu punya banyak dampak negatif, seperti efek samping dari diet yang berlebihan (ketidakteraturan makan) hingga operasi plastik yang saat ini hampir menjadi trend kekinian (menjadikan perempuan mengekploitasi tubuhnya sendiri). 
Hal yang demikian ini, berdampak pada ‘cantik’ yang dijadikan aset oleh perempuan. yakni, sebelum menikah konsentrasi perempuan adalah mencari laki-laki kaya dengan upaya mempercantik diri sebagai modalnya (bukan memperkaya diri sendiri dengan sebuah prestasi atau potensi), setelah menikah tetap juga mempercantik dirinya agar sang suami tetap setia (bukan dengan kecerdasan atau ke-sholehah-an).
Pembuatan standar ‘cantik’ ini juga berdampak pada kontestasi antarperempuan, yang muda berlomba-lomba  untuk menjadi cantik dengan mempermak fisik seraya takut untuk menjadi tua, sementara yang tua juga takut tersaingi oleh yang muda dengan pula menyerbu kosmetik-kosmetik yang berlabel anti penuaan dini atau dengan cara yang lebih ekstrim lagi. Kontestasi antarperempuan ini sangat disayangkan, mengingat keadaan budaya patriarki yang semestinya mempersatukan perempuan untuk menyatakan perlawanan.
Bahkan, keterjajahan perempuan oleh standar kecantikan ini, menguras banyak waktu perempuan yang terbuang percuma hanya sekedar untuk memenuhi standar ideal yang tentunya sangat merugikan. Apalagi waktu perempuan sudah terkuras oleh peran domestik (kerumahtanggaan) atau fungsi reproduksi (menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui). Sedangkan laki-laki sudah lebih dulu maju karena aktifitasnya dalam dunia publik (kemasyarakatan). Sementara untuk mengejar ketertinggalan, perempuan juga harus berproses dalam dunia publik ini, karena aktifitas di publik adalah aktifitas manusiawi (berlaku bagi perempuan juga laki-laki), sebagai sesama khalifatullah fil ardhi. Untuk itu, dandan yang berlebihan atau proses mempercantik diri yang dipaksakan harus sudah mulai ditinggalkan untuk menjadi perempuan yang tak terbelakang. Pun potensi perempuan tidak mesti berjalan beriringan dengan kecantikan. Bahwa sebuah potensi tak memandang laki-laki atau perempuan. Tak banyak perempuan yang sadar akan hal ini, karena mereka sudah sibuk dengan aktifitas mendandani diri. Bahkan sosial media dijadikan mereka, sebagai ajang untuk pamer diri. 
Uraian ini adalah bentuk kegelisahan dari para feminis, termasuk juga penulis hingga akhirnya memunculkan tulisan ini. Kegelisahan seperti ini juga akan menggelisahkan para produsen-produsen kosmetika atau kaum kapitalis, gelisah akan kaum perempuan yang tak akan lagi menjadi pembeli tetap alat-alat kosmetika mereka, inilah salah satu alasan mengapa banyak uraian yang menyatakan bahwa musuh kapitalisme setelah keruntuhan komunisme adalah feminisme.


Kamis, 10 Mei 2018

Potret Perempuan di Media Sosial



Oleh: Putriana

“Bagi saya, adalah salah satu dari ketidakadilan gender ketika masyarakat hanya menyalahkan pelakor dengan tidak melibatkan sang laki-laki sebagai bagian dari aktor”.

Itulah kalimat yang saya posting beberapa waktu yang lalu di media sosial. Sebab sudah sangat melelahkan rasanya, melihat penampakan fakta di media sosial, perempuan yang terus dipojokkan, bahkan kebanyakan oleh golongan perempuan itu sendiri.

Soal kasus pelakor (pengambil laki orang) misalnya, yang dipojokkan dan dibebankan dosa oleh warga masyarakat hingga warga internet hanyalah sang perempuan, dengan melupakan sosok actor laki-laki, yang bahkan menurut saya ia adalah dalang utamanya, sebab laki-laki lah yang lebih besar berkemauan untuk berselingkuh (melihat dari budaya poligami yang sejak dulu hingga kini belum menghilang dari perilakunya laki-laki). Bahwa ada actor laki-laki yang disembunyikan oleh media sosial, hingga penyerangan hanya dilakukan kepada perempuan dan menjadikan ia satu-satunya korban kebrutalan pengguna media sosial, yang isinya pun ternyata kebanyakan dari kicauan kaum perempuan yang menjadikan mereka dengan sesamanya saling menjatuhkan.

Potret kegegabahan dan keberisikan perempuan dalam menggunakan media sosial adalah juga dampak dari teknologi komunikasi yang semakin kekinian. Mengingatkan saya dengan apa yang telah dinyatakan oleh Herbert Marcuse, seorang filsuf dari Jerman, bahwa teknologi sejatinya hanyalah memperbudak manusia dan bukan membantunya. Bahwa manusialah yang melayani teknologi, bukan teknologi yang melayani manusia.

Selain itu, fakta bahwa laki-laki lah yang mendominasi penciptaan media sosial, sementara perempuan diposisikan sebagai barang dagangan dengan terjualnya tubuh mereka di iklan-iklannya media sosial, adalah deretan masalah perempuan yang akan sulit terselesaikan. Maka saat ini, perempuan sendiri lah yang harus lebih sadar.

Belakangan pun sudah banyak bahasan soal fakta bias gender di media massa. Bahwa media massa, ketika terdapat isu tentang perempuan, untuk memikat para pembaca, maka mereka (orang-orang dibalik pengendali media massa) akan menggunakan kata-kata yang bias gender, seperti “perempuan cantik dan seksi”, bukan “perempuan baik dan jujur”.


Masalah tersebut berdampak pada perempuan di permukaan yang mesti identik dengan kecantikan dan keseksian. Kemudian menular pada media sosial, perempuan-perempuan menjadi sangat narsis, kesehariannya hanya menjadi ajang pamer, sibuk beli busana dan liburan ke tempat-tempat mewah demi terkesan glamour di sosial media. Hal ini lah yang disebutkan oleh Jean Baudrillard, seorang pakar teori kebudayaan asal Perancis, bahwa kini manusia akan lebih memilih produk yang bermerek ketimbang produk yang lebih berdaya guna (lebih mengkonsumsi simbol bukan kegunaan produk). Bahwa orientasi konsumsi manusia bukan lagi menyoal tentang kebutuhan hidup namun soal gaya hidup. Dan media menjadikan manusia jauh dari ruang public seraya menjadikan ruang privat tak lagi sebagai hal yang rahasia (ruang privat yang dipertontokan di sosial media).

Rabu, 09 Mei 2018

Bicara Tentang Laki-Laki Pembela Perempuan


                                                   Oleh: Putriana

Feminis. Itulah sebutan untuk mereka yang membela serta memikirkan banyak nasib kaum perempuan. Perempuan, golongan yang selama ini memang banyak kurang menguntungkan. Feminis bukan berarti feminim. Jika feminim bermakna ciri-ciri psikologisnya perempuan (lembut, cengeng dan lain-lain), sedangkan feminis ialah orang yang berjuang di jalan perjuangan kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Jadi seorang feminis akan melawan semua bentuk yang sekiranya merugikan kaum perempuan.

Namun, karena ketidakadilan banyak dialami oleh perempuan, maka para pejuangnya pun banyak terlahir dari kaum perempuan. Sehingga hingga kini, feminis selalu dikaitkan dengan perempuan. Padahal tak sedikit pula adanya feminis yang lahir dari kaum adam, meskipun akan tetap kalah jumlah dengan feminis dari golongan perempuan.

Gerakan feminisme adalah gerakan yang berupaya untuk menciptakan ruang kehidupan yang lebih ramah terhadap perempuan (kesetaraan dan keadilan). Gerakan feminisme bukan gerakan untuk mendominasi laki-laki. Sebab laki-laki dan perempuan pun hakikatnya diciptakan oleh Tuhan untuk berpasangan, agar saling bersinergi dan membangun kekuatan, bukan saling merendahkan apalagi menjatuhkan. Bahwa pun laki-laki yang dianggap dan merasa lebih kuat, semestinya melindungi perempuan yang mereka anggap lebih lemah bukan mengekspresikan kejantanan dengan kekerasan atau bahkan kekuasaan. Dengan kata lain, untuk menghanguskan budaya patriarki ini, adalah juga bagian dari tugasnya laki-laki (tanggung jawab bersama), bukan hanya beban bagi perempuan, sebab proses penyetaraan adalah proses pemberadaban.

Karena pentingnya dalam menyoal pemberadaban ini, maka gerakan feminisme adalah keperluan mendesak yang harus segera ditangani, agar tak ada lagi kasta antara sesama manusia perempuan dan laki-laki.

Perjuangan gender di berbagai persoalan telah banyak bermunculan (banyak variasi gerakan feminisme), dengan proses perjuangan yang begitu melelahkan dan jika melihat banyaknya masalah seputar ketertindasan kaum perempuan di segala bidang, sebenarnya tidak mudah bagi kaum adam untuk menjadi feminis dalam budaya patriarki yang telah lama menyurgakan mereka di bumi kehidupan. Maka adalah keluarbiasaan bagi laki-laki yang telah mampu menempuh jalan menjadi feminis.

Dalam sejarah, para feminis laki-laki yang bermunculan, beberapa dari mereka telah disebutkan oleh Gadis Arivia yang saya kutip dari laman jurnalperempuan.org, mereka di antaranya ialah Plato (feminis laki-laki pertama) yang telah menyatakan bahwa perempuan mampu untuk berpartisipasi sepenuhnya sebagai warga Negara dalam karyanya The Republic (360 SM). Yang kedua ialah Praxedis Guerrero, ia menyatakan bahwa perempuan tidak bisa bebas karena tradisi yang mengekang diri mereka. Kemudian yang ketiga ialah John Stuart Mill yang menurutnya perempuan harus bebas karena hanya dengan kebebasan perempuan akan bermartabat layaknya manusia (perempuan harus mempunyai hak dan status politik yang setara dengan laki-laki). Kemudian yang keempat ialah Qasim Amin, feminis laki-laki dari Mesir, salah satu gagasannya ialah bahwa perempuan harus berpendidikan untuk mencapai kemajuan.  

Di Indonesia, yang merupakan feminis laki-laki pertama menurut Gadis Arivia ialah Soekarno yang telah menulis buku berjudul Sarinah (1947) yang di dalamnya disebutkan bahwa soal perempuan adalah soal penting dan soal perempuan adalah soal masyarakat.

Selain Soekarno, menurut saya feminis laki-laki lainnya di Indonesia ialah KH. Husein Muhammad (Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid Cirebon), yang dikenal sebagai kiai feminis, penulis fiqh perempuan dan punya banyak karya seputar gender lainnya. Salah  satu gagasannya ialah bahwa ayat yang selama ini dijadikan dasar sebagai kesuperioran laki-laki, dan subordinatnya perempuan, yang menjadi perdebatan di antara mufassir tentang nafs wahidah (diri yang satu) dan zaujaha (pasangannya), menurutnya biarkan saja dengan ketidakjelasannya. Sementara yang jelas ialah bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan secara berpasangan (hakikatnya adalah kebersamaan, saling melengkapi dan beriringan).

Kemudian, yang dalam karya dan gagasannya banyak berbicara tentang pentingnya kesetaraan ialah Nasaruddin Umar, Syafiq Hasyim dan Mansour Fakih yang kemungkinan akan saya bahas di waktu-waktu mendatang.



Senin, 23 April 2018

Merancang Kembali Perempuan Ideal untuk Masa Kini dan Masa Depan


Oleh: Putriana

Selama ini, kaum perempuan telah keliru dalam menentukan perempuan yang menurutnya ideal. Semisal, perempuan ideal menurut mereka ialah yang jago masak, fisik terawat, lemah lembut, penurut dan seterusnya, bahwa bagi mereka perempuan ideal ialah yang posisinya di lingkaran dapur, sumur dan kasur. Sehingga perempuan dari tingkat bawah hingga elit berlomba-lomba ke arah sana, arah yang salah kaprah, sebab menjadikan terbatasnya perempuan untuk berkiprah.  
Padahal para perempuan pelaku sejarah adalah mereka yang tak hanya di lingkaran itu saja, bahwa mereka yang ditokohkan adalah para perempuan yang aktif di dunia public, di luar aktifitasnya sebagai bagian dari pemeran dalam ruang domestic.
Para perempuan pelaku sejarah itu di antaranya seperti Martha Christina Tiahahu (1800-1818) seorang puteri remaja pemberani yang ikut ambil bagian dalam pertempuran melawan Belanda di eranya, Cut Nyak Dhien (1848-1908) yang tak takut dalam berjuang bersama pasukan kecilnya melawan Belanda, Cut Nyak Meutia (1870-1910) perempuan pemberani dengan ikut melakukan perlawanan terhadap Belanda, Maria Walanda Maramis (1872-1924) pejuang kemajuan perempuan di dunia politik dan pendidikan, Nyai Ahmad Dahlan (1872-1976) salah seorang tokoh emansipasi perempuan, Raden Ajeng Kartini (1879-1904) yang terkenal karena upaya emansipasi lewat surat-suratnya, Siti Manggopoh (1880-1965) pejuang perempuan, Dewi Sartika (1884-1947) dikenal sebagai perintis pendidikan untuk kaum perempuan, Syarifah Nawawi (1896-1988) pejuang dan tokoh pendidikan, Rasuna Said (1910-1965) pejuang kemerdekaan Indonesia, serta masih banyak lagi jika ditarik mundur ke belakang seperti Ratu Shima, Malahayati, Nyi Ageng Serang, dan selainnya, hingga Megawati Sukarnoputri di era sekarang.
Maka, seperti pula menurut Betty Friedan, salah seorang feminis barat, diperlukan lagi rancangan ulang untuk menentukan kembali perempuan ideal, ideal seperti para perempuan hebat yang telah disebutkan.
Pentingnya melakukan penyadaran secara universal soal menyoal perempuan ideal ini adalah agar perempuan kiprahnya tak hanya di sekitar rumahnya saja, agar eksistensi kemanusian perempuan ada seperti kaum lawan jenisnya, agar perempuan menjadi anggota masyarakat atau warga Negara dan agar perempuan juga ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan Negara-bangsa.
Namun, untuk menjadi seperti perempuan yang telah dipaparkan, tentu bukan lagi dengan pedang lalu berperang, karena hidup kita sudah di era sekarang yang tentu beda zaman.
Karena ada perempuan-perempuan hebat lebih jauh di masa lalu namun bisa dan perlu ditiru serta dijadikan perempuan ideal, idaman, panutan oleh perempuan era sekarang, termasuk perempuan dari generasi millennial. Mereka ialah para perempuan yang hidup saat datangnya Islam di tanah Arab yang kisahnya tak lagi diperlukan pembuktian, karena adanya memang kebenaran.
Ialah Siti Khadijah seorang perempuan pembisnis sukses kala itu, perempuan yang berkarir bahkan yang membiayai Rosul dalam berdagang. Kelak ia menjadi istri Rosul dan menjadi pihak pertama yang mengimani kerosulannya Rosul. Selain itu ada Siti Aisyah, fatner intelektual Rosul, politisi cerdas bahkan salah seorang periwayat hadits terbanyak, kemudian Fatimah Az-Zahra, putri Rosul, putri yang berkemauan kuat, tegar, tegas dan cerdas, serta Zainab binti Ali, cucu perempuan Rosul, perempuan yang mempunyai banyak ide hingga dijuluki Aqilah (perempuan cerdas).

Alhasil pun, bagi para perempuan yang lebih memilih mengurung diri di rumah dengan lipstick dan bedaknya, seraya menyebut agama yang memerintah, maka perlu lagi melihat catatan sejarah, yang telah banyak mengisahkan perempuan muslimah dengan segala kiprah mereka.