Oleh: Putriana
Diawali
oleh relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, juga
antara orang dewasa dan anak-anak, yang menempatkan keduanya di posisi lebih
rendah dari laki-laki dan orang dewasa, menjadikan kaum perempuan dan anak-anak
rentan terkena akan kekerasan atau kejahatan, apalagi keduanya tergolong lemah
dan dominan tinggal di ruang domestik (rumah tangga), area yang sempit, sepi
dan kurang dari perhatian hingga keadilan, bahkan ruang ini dianggap sebagai
ruang privat, yang tidak perlu untuk di atur oleh negara, sehingga kekerasan
dan kejahatan semakin merajalela.
Pembedaan
gender yang diterapkan kepada laki-laki dan perempuan, berupa maskulinitas dan feminitas
sebagai hasil dari rekayasa sosial, menghasilkan budaya yang menuntut perempuan
untuk selalu tampil bermoral. Aturan bahwa maskulinitas sebagai khasnya
laki-laki, memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk menunjukkan diri
sebagai pribadi yang gagah, kuat, mampu memimpin hingga mengambil keputusan dan
sebagainya dan feminitas sebagai khasnya perempuan, menuntut perempuan untuk
menampilkan sesosok pribadi yang anggun, lemah, penurut hingga menerima segala
keputusan terhadap dirinya, termasuk juga tuntutan untuk selalu tampil sebagai
pribadi yang sopan santun dan seterusnya.
Hal
tersebutlah yang kemudian akan perbaikan moral hanya dilekatkan kepada perempuan.
Segala aturan meminta dan mengharuskan perempuan untuk selalu tampil beradab, mulai
dari aturan perilaku sopan santun yang lebih diterapkan kepada perempuan,
kemudian mendidik anak di rumah yang hanya dibebankan kepada perempuan, untuk
kemudian bertanggung jawab atas lahirnya generasi bangsa yang beradab dan berpengetahuan,
hingga aturan pakaian yang hanya ditujukan kepada perempuan, agar tidak menerima
kekerasan dari laki-laki yang kadangkala menyerang kaum perempuan. Dalam kasus
kekerasan terhadap kaum perempuan, seringkali perempuan yang dipersalahkan
karena hal ini, adakalanya oleh karena model pakaian, bentuk lekukan badan
hingga tuduhan sebagai sosok yang menggoda duluan. Padahal perempuan telah
menjadi korban, namun kemudian justru perempuan pula yang dipersalahkan.
Rahim,
vagina dan payudara adalah bagian diri perempuan yang selalu menjadi sasaran
aniaya. Padahal, rahim adalah rumah pertama bagi manusia, termasuk kaum pria,
vagina bagian dari proses untuk lahir ke dunia dan payudara adalah sumber air
susu pertama untuk kehidupan selanjutnya, mengapa justru ketiganya dijadikan
objek untuk menganiaya. Bahkan kekerasan terhadap perempuan, penganiayaan
terhadap tubuh dan martabat kemanusiaan perempuan terus menjadi-jadi, dari hari
demi hari, akan tetapi aturan perlindungan bagi perempuan selalu terhambat,
hanya berjalan di tempat.
Atas
fenomena itulah kemudian muncul Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual
(RUU P-KS). Guna menimbulkan ketakutan dalam diri laki-laki (utamanya) untuk menjadi
pelaku kekerasan seksual, selain pula untuk perlindungan hingga pemulihan
terhadap korban yang selama ini bahkan justru sulit dalam mencari keadilan
karena kekosongan aturan atau Undang-undang. Ditambah lagi akan ketakutan
perempuan untuk memberikan laporan, takut akan balasan dari pelaku, terbongkarnya
identitas diri, sekaligus maraknya pungli, adalah deretan keadaan yang menyulitkan
kaum perempuan untuk melaporkan sebuah kebenaran.
Bahwa
RUU P-KS ini bertujuan untuk mencegah
hingga memidana pelaku kekerasan seksual, penanganan terhadap korban, sehingga
akan terjamin kebebasan lingkungan dari kekerasan seksual, dalam arti jika RUU
P-KS ini telah diundang-undangkan. Dengan lain kata, kekerasan seksual yang
kerapkali terjadi tidak akan lagi berakhir dengan jalur non-hukum atau bahkan
dengan solusi mengawinkan pelaku dengan korban, yang kemungkinan besar tidak saling
menginginkan.
Selain
itu, keunikan RUU P-KS ini, ialah meluaskan definisi pasal perkosaan, sehingga
beragamnya pelecehan terhadap perempuan dapat tergambarkan dan menjadi tidak terabaikan
(lihat Pasal 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual).
Anehnya,
RUU P-KS ini ditafsir sebagai RUU yang akan menghalalkan zina dan free sex,
padahal RUU ini hanya menyinggung soal kekerasan atau kejahatan seksual,
sehingga zina dan free sex karena tidak masuk dalam ruang “kekerasan”, maka ia
tidak masuk dalam ruang RUU P-KS ini. Dalam naskahnya pun tidak ada sama sekali
bunyi tentang diperbolehkannya zina, free seks atau bahkan LGBT yang selama ini
dituduhkan. Anggapan akan terlalu feminis dan Barat juga menjadi tuduhan
terhadap RUU ini.