Jumat, 31 Agustus 2018

Keterjajahan Perempuan oleh Standar Kecantikan




Oleh: Putriana

Laki-laki memang identik dengan ketampanan dan perempuan juga identik dengan kecantikan, namun standar ‘cantik’ lebih ribet bin rumit dalam pengaplikasiannya terhadap perempuan. Terpotret dari berbagai variasi produk-produk kosmetika (lipstick, maskara, bedak, eyeliner, eyeshadow, dkk) yang menuntut perempuan untuk membeli dan memakainya.
Produsen produk-produk kosmetika sebagai aktor dibalik pembuat standar ideal “perempuan cantik” adalah pihak yang sangat diuntungkan dan memang mereka mencari banyak uang dari lahan ini. Konsep cantik yang ideal terus mereka update, guna membuat produk-produk baru, untuk kemudian diserbu oleh perempuan yang pikirannya hanya terkonsentrasikan dengan kecantikan.
Perempuan bahkan juga diperalat untuk menjadi perwakilan para produsen dalam menyampaikan standar cantik yang mereka buat dalam berbagai media seperti iklan dalam televisi, koran, majalah hingga di media sosial seperti Instagram dan sejenisnya. Pengaruh media sangat besar dalam membentuk pikiran perempuan bahwa cantik adalah kesempurnaan, dan tentu saja tubuhnya semakin terkomoditaskan dengan dijadikannya sebagai bahan atau alat dalam bermacam-macam iklan (Iklan produk kecantikan bahkan mendominasi hingga menggeser produk-produk non-kecantikan).
Hal ini berdampak pada konsentrasi perempuan akan cantik hanya pada fisik bukan cantik dari dalam diri. Cantik secara fisik menjadi terstandarkan bahkan telah sangat mapan. Padahal standar cantik yang ingin mereka gapai dengan cara yang dipaksakan itu punya banyak dampak negatif, seperti efek samping dari diet yang berlebihan (ketidakteraturan makan) hingga operasi plastik yang saat ini hampir menjadi trend kekinian (menjadikan perempuan mengekploitasi tubuhnya sendiri). 
Hal yang demikian ini, berdampak pada ‘cantik’ yang dijadikan aset oleh perempuan. yakni, sebelum menikah konsentrasi perempuan adalah mencari laki-laki kaya dengan upaya mempercantik diri sebagai modalnya (bukan memperkaya diri sendiri dengan sebuah prestasi atau potensi), setelah menikah tetap juga mempercantik dirinya agar sang suami tetap setia (bukan dengan kecerdasan atau ke-sholehah-an).
Pembuatan standar ‘cantik’ ini juga berdampak pada kontestasi antarperempuan, yang muda berlomba-lomba  untuk menjadi cantik dengan mempermak fisik seraya takut untuk menjadi tua, sementara yang tua juga takut tersaingi oleh yang muda dengan pula menyerbu kosmetik-kosmetik yang berlabel anti penuaan dini atau dengan cara yang lebih ekstrim lagi. Kontestasi antarperempuan ini sangat disayangkan, mengingat keadaan budaya patriarki yang semestinya mempersatukan perempuan untuk menyatakan perlawanan.
Bahkan, keterjajahan perempuan oleh standar kecantikan ini, menguras banyak waktu perempuan yang terbuang percuma hanya sekedar untuk memenuhi standar ideal yang tentunya sangat merugikan. Apalagi waktu perempuan sudah terkuras oleh peran domestik (kerumahtanggaan) atau fungsi reproduksi (menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui). Sedangkan laki-laki sudah lebih dulu maju karena aktifitasnya dalam dunia publik (kemasyarakatan). Sementara untuk mengejar ketertinggalan, perempuan juga harus berproses dalam dunia publik ini, karena aktifitas di publik adalah aktifitas manusiawi (berlaku bagi perempuan juga laki-laki), sebagai sesama khalifatullah fil ardhi. Untuk itu, dandan yang berlebihan atau proses mempercantik diri yang dipaksakan harus sudah mulai ditinggalkan untuk menjadi perempuan yang tak terbelakang. Pun potensi perempuan tidak mesti berjalan beriringan dengan kecantikan. Bahwa sebuah potensi tak memandang laki-laki atau perempuan. Tak banyak perempuan yang sadar akan hal ini, karena mereka sudah sibuk dengan aktifitas mendandani diri. Bahkan sosial media dijadikan mereka, sebagai ajang untuk pamer diri. 
Uraian ini adalah bentuk kegelisahan dari para feminis, termasuk juga penulis hingga akhirnya memunculkan tulisan ini. Kegelisahan seperti ini juga akan menggelisahkan para produsen-produsen kosmetika atau kaum kapitalis, gelisah akan kaum perempuan yang tak akan lagi menjadi pembeli tetap alat-alat kosmetika mereka, inilah salah satu alasan mengapa banyak uraian yang menyatakan bahwa musuh kapitalisme setelah keruntuhan komunisme adalah feminisme.


Jumat, 20 April 2018

Rutinitas Hari Kartini yang Menjemukan


Oleh: Putriana

Sosok perempuan cerdas dan berkelas sekaliber Kartini dalam memperjuangkan derajat perempuan Indonesia, ketika namanya melegenda namun perjuangannya tak diteruskan dalam bentuk aksi nyata, hanya melalui lomba busana kebaya, adalah hal yang memprihatinkan sekaligus menjemukan.

Sudah mencapai di titik 2018 ini Hari Kartini dirayakan, namun perayaannya sejak Orba hingga kini sangat tak mencerahkan. Hari besar bagi perempuan Indonesia yang semestinya diperingati dengan semangat keadilan dan kesetaraan, justru dipenuhi dengan lomba-lomba basi seperti busana kebaya, busana adat, dandan bahkan masak. Ritual perayaan yang bahkan sudah menjadi merek di negeri ini, namun sungguh bertolak belakang dengan semangat perjuangan seorang Kartini yang terlahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara itu.

Kondisi tersebut juga terlihat memprihatinkan jika kebaya hanya dikenakan ketika berhari raya. Padahal kebaya sebagai identitas dan tradisi, mengapa berselera hanya di Hari Kartini. Di eranya, Kartini seorang diri berani melawan budaya feodalisme dan patriarki, inilah yang semestinya dilanjutkan dan diikuti oleh generasi perempuan di era ini.

Bahkan Kartini hanya berkesempatan hidup selama 25 tahun, namun perjuangan dan pikiran-pikirannya melambung, menginspirasi banyak perempuan di Indonesia dan dunia. Berawal dari diterbitkan surat-suratnya di Belanda pada tahun 1911 yang kemudian diindonesiakan pada tahun 1922 dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Menjadikan para pembaca takjub akan sosok Kartini. Takjub akan sosok perempuan yang berani dan cerdas dengan semangat belajar yang luar biasa di umur yang begitu muda, dengan segala keterbatasan di eranya, dengan sesingkat waktu hidupnya, namun punya ide dan gagasan besar yang membuka mata hati generasi setelahnya hingga lebih dari satu abad lamanya. 

Adalah Soekarno yang menetapkan Hari Kartini di tahun 1964, menjadikan hari lahir Kartini pada tanggal 21 April itu sebagai hari besar perempuan Indonesia, karena Soekarno melihat ada potensi semangat revolusi dalam diri Kartini yang harus ditiru oleh generasi perempuan Indonesia. Di bawah era Soekarno lah banyak seruan agar perempuan keluar rumah dan ikut ambil bagian. Menjadikan semangat Kartini sebagai barometer untuk menjadi perempuan yang berkemajuan. 

Ketika Orde Baru datang, semangat gerakan perempuan hilang. Di bawah rezim ini semua gerakan perempuan dibasmi. Perayaan Hari Kartini hanya dengan meniru pakaian yang Kartini kenakan, bukan lagi dengan semangat perjuangan. Perempuan ideal kembali terdefinisikan sebagai perempuan rumahan. Sungguh era yang sangat tak menggembirakan bagi para pejuang perempuan, sebab tak bisa lagi lantang bersuara apalagi untuk berkuasa. 

Maka hari ini sudah saatnya perempuan Indonesia bangkit, menyalakan lagi api semangat Kartini, semangat untuk membebaskan perempuan dari derita dan nestapa. Semangat menjadi perempuan ideal dengan ikut andil dalam proses perjuangan pemberadaban perempuan dan semangat untuk mewujudkan kemitrasejajaran sesama manusia.
Semangat Kartini yang terasa pudar di era kini pun sudah harus diberi pupuk dengan kemasan perayaan yang sesuai dengan cita Kartini. Agar diri Kartini kembali tercerminkan dan terwakili pada diri generasi zaman ini. Agar semangat perjuangan Kartini kembali membumi di negeri Indonesia ini.