Oleh: Putriana
Laki-laki
memang identik dengan ketampanan dan perempuan juga identik dengan kecantikan,
namun standar ‘cantik’ lebih ribet bin rumit dalam pengaplikasiannya terhadap
perempuan. Terpotret dari berbagai variasi produk-produk kosmetika (lipstick,
maskara, bedak, eyeliner, eyeshadow, dkk) yang menuntut perempuan untuk membeli
dan memakainya.
Produsen
produk-produk kosmetika sebagai aktor dibalik pembuat standar ideal “perempuan
cantik” adalah pihak yang sangat diuntungkan dan memang mereka mencari banyak
uang dari lahan ini. Konsep cantik yang ideal terus mereka update, guna membuat
produk-produk baru, untuk kemudian diserbu oleh perempuan yang pikirannya hanya
terkonsentrasikan dengan kecantikan.
Perempuan
bahkan juga diperalat untuk menjadi perwakilan para produsen dalam menyampaikan
standar cantik yang mereka buat dalam berbagai media seperti iklan dalam
televisi, koran, majalah hingga di media sosial seperti Instagram dan
sejenisnya. Pengaruh media sangat besar dalam membentuk pikiran perempuan bahwa
cantik adalah kesempurnaan, dan tentu saja tubuhnya semakin terkomoditaskan
dengan dijadikannya sebagai bahan atau alat dalam bermacam-macam iklan (Iklan produk
kecantikan bahkan mendominasi hingga menggeser produk-produk non-kecantikan).
Hal
ini berdampak pada konsentrasi perempuan akan cantik hanya pada fisik bukan
cantik dari dalam diri. Cantik secara fisik menjadi terstandarkan bahkan telah
sangat mapan. Padahal standar cantik yang ingin mereka gapai dengan cara yang dipaksakan
itu punya banyak dampak negatif, seperti efek samping dari diet yang berlebihan (ketidakteraturan
makan) hingga operasi plastik yang saat ini hampir menjadi trend kekinian
(menjadikan perempuan mengekploitasi tubuhnya sendiri).
Hal
yang demikian ini, berdampak pada ‘cantik’ yang dijadikan aset oleh perempuan.
yakni, sebelum menikah konsentrasi perempuan adalah mencari laki-laki kaya dengan
upaya mempercantik diri sebagai modalnya (bukan memperkaya diri sendiri dengan sebuah prestasi atau potensi), setelah menikah tetap juga mempercantik
dirinya agar sang suami tetap setia (bukan dengan kecerdasan atau ke-sholehah-an).
Pembuatan
standar ‘cantik’ ini juga berdampak pada kontestasi antarperempuan, yang muda
berlomba-lomba untuk menjadi cantik dengan
mempermak fisik seraya takut untuk menjadi tua, sementara yang tua juga takut
tersaingi oleh yang muda dengan pula menyerbu kosmetik-kosmetik yang berlabel
anti penuaan dini atau dengan cara yang lebih ekstrim lagi. Kontestasi
antarperempuan ini sangat disayangkan, mengingat keadaan budaya patriarki yang semestinya
mempersatukan perempuan untuk menyatakan perlawanan.
Bahkan,
keterjajahan perempuan oleh standar kecantikan ini, menguras banyak waktu perempuan
yang terbuang percuma hanya sekedar untuk memenuhi standar ideal yang tentunya
sangat merugikan. Apalagi waktu perempuan sudah terkuras oleh peran domestik (kerumahtanggaan)
atau fungsi reproduksi (menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui). Sedangkan
laki-laki sudah lebih dulu maju karena aktifitasnya dalam dunia publik (kemasyarakatan). Sementara untuk mengejar ketertinggalan, perempuan juga harus berproses dalam dunia
publik ini, karena aktifitas di publik adalah aktifitas manusiawi (berlaku bagi
perempuan juga laki-laki), sebagai sesama khalifatullah fil ardhi. Untuk itu, dandan
yang berlebihan atau proses mempercantik diri yang dipaksakan harus sudah mulai
ditinggalkan untuk menjadi perempuan yang tak terbelakang. Pun potensi
perempuan tidak mesti berjalan beriringan dengan kecantikan. Bahwa sebuah potensi
tak memandang laki-laki atau perempuan. Tak banyak perempuan yang sadar akan
hal ini, karena mereka sudah sibuk dengan aktifitas mendandani diri. Bahkan sosial
media dijadikan mereka, sebagai ajang untuk pamer diri.
Uraian
ini adalah bentuk kegelisahan dari para feminis, termasuk juga penulis hingga akhirnya
memunculkan tulisan ini. Kegelisahan seperti ini juga akan menggelisahkan para
produsen-produsen kosmetika atau kaum kapitalis, gelisah akan kaum perempuan
yang tak akan lagi menjadi pembeli tetap alat-alat kosmetika mereka, inilah
salah satu alasan mengapa banyak uraian yang menyatakan bahwa musuh kapitalisme
setelah keruntuhan komunisme adalah feminisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar